Dari Kerja “Terbang Dobol” Menuju Kerja Prestasi

Dari Kerja “Terbang Dobol” Menuju Kerja Prestasi

Bekerja adalah tuntutan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga. Posisi manusia sebagai hamba Allah Swt. untuk mencari penghasilan dengan bekerja dilakukan pada sektor yang bervariasi. Tipologi dan cara bekerja setiap orang mempunyai perbedaan. Sebagai pekerja di instansi pemerintah tuntutan bekerja sesuai aturan perlu ditingkatkan menuju kerja prestasi.

Tipologi Kerja

Tipe pekerja yang pertama adalah kerja rodi. Kerja rodi cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Kerja ini tidak hanya terjadi di wilayah Hindia Belanda saja, akan tetapi juga dirasakan bangsa lain yang mengalami terjajah. Di Nusantara, kerja rodi ini diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels yang datang pada tahun 1808 atas perintah Raja Belanda Louis Napoleon. Dalam kerja rodi, warga pribumi dipaksa untuk membangun berbagai infrastruktur baik sipil maupun militer, salah satunya adalah jalan raya mulai Anyer (Provinsi Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur). Dikisahkan, dalam pelaksanaan kerja rodi ini, cukup banyak jiwa manusia melayang karena kerasnya kerja, tekanan fisik, psikis serta perlakuan yang tidak manusiawi.

Semua orang yang dipekerjakan kerja rodi ini bertaruh nyawa karena antara yang mempekerjakan dan yang dipekerjaan berada pada level yang berbeda yaitu merdeka dan terjajah. Jangankan keselamatan dan kesejahteraan, matipun tidak menjadi menakutkan. Kehidupan pekerja diwarnai letupan mesiu dan lecutan cemeti serta dihantui kematian. Hidup pekerja laksana ancik ancik pucuk e eri (telur diujung tanjuk).

Dalam kerja rodi ini dorongan orang untuk melakukan pekerjaan hanya karena ketakutan dan kematian sehingga mereka bekerja banting tulang sekuat tenaga karena takut senjata atau cemeti yang berbicara. Pekerjaan dilakukan karena keterpaksaan. Sejatinya korban kematian para pekerja itu sesungguhnya merupakan akumulasi tekanan yang pada akhirnya berujung pada kematian yang sangat mengenaskan. Fisiknya tersakiti, kebutuhan kalori yang tidak tercukupi, kebutuhan kenikmatin batini yang tidak terpenuhi mengakibatkan tersiksa jiwa raga.

Tipe kedua adalah Kerja bakti. Kerja bakti menurut pemahaman yang paling mudah adalah kerja bersama tanpa upah untuk kepentingan bersama atau anggotanya. Pada sebagian masyarakat, kerja bakti ini disebut dengan istilah gugur gunung, sambatan atau gotong royong. Sebenarnya kerja bakti atau gotong royong ini merupakan tradisi masyarakat nusantara dalam rangka menyelesaikan urusannya dalam suka dan duka. Dalam urusan duka, apabila ada diantara anggota masyarakat meninggal, maka para anggota masyarakat tersebut akan ikut ribut membantu menyediakan apa yang dibutuhkan dalam perawatan jenazah. Masyarakat ambil bagian dengan memotong pohon pisang yang akan digunakan sebagai bantal saat memandikan jenazah, mencari pohon bidara sebagai kelengkapan pemandiannya, menggerus kapur barus, menguntai bunga yang akan dikalungkan di atas keranda, menggali liang kubur dan ada juga yang memberikan beras atau hasil panen lainnya bagi keluarga yang sedang berduka.

Begitu juga dalam acara suka, kawinan (nikahan) atau sunatan (khitanan), para tetangga ramai ramai mendirikan terop atau tarup yang sekarang dikenal dengan tenda yang pada jaman dahulu dibuat dari batang batang bambu dengan atap dari welit (ilalang atau daun tebu atau siwalan) yang ditali temali. Pada acara suka cita ini, masyarakat akan terbangun kesadaran untuk memberikan yang dimiliki pada si empunya hajat bahagia. Keterlibatan masyarakat tergambar dengan membawa beras, gula, kelapa aneka palawija, bahkan ada juga yang membawa ayam atau kambing, serta rempah rempahnya.

Dalam kerja bakti ini, masyarakat memberikan apa yang dimiliki dengan tidak ada paksaan atau tidak akan dijerat hukum positif apabila seseorang tidak mengikuti atau pasif dalam kegiatan. Paling hanya dianggap tidak mengerti adab dan adat bermasyarakat sehingga eksesnya berupa sanksi sosial. Anggota masyarakat yang ndablek (kurang peduli sosial) akan sering absen pada kegiatan kerja bakti ini, tapi anggota masyarakat pasti ada yang mencatat dalam ingatannya yang berdampak akan terbalas dengan ketidakhadiran saat orang tersebut membutuhkan kerja bakti dari masyarakat sekitarnya.

Kekhawatiran tidak dibantu oleh orang lain dalam masyakatnya inilah yang mendorong seseorang harus hadir dan terlibat dalam kerja bakti. Terbayang bagaimana sengsaranya ketika punya hajat tidak ada yang membantu mendirikan terop, memasak aneka makanan. Alangkah malunya ketika acara dilaksanakan, para tamu undangan tidak ada yang datang. Kekhawatiran lain pada masyarakat desa yang diliputi berbagai keterbatasan jika dibandingkan masyarakat metropolis adalah hampir semua kebutuhan acara, baik dalam suka maupun duka, bisa dibayar dan peralatan bisa disewa. Hal yang dilaksanakan di kota tentu bertolak belakang bila dilaksanakan di daerah pedesaan.

Tipe kerja yang ketiga adalah kerja profesi. Sebagian besar masyarakat mensinonimkan kerja dengan profesi. Bila kita urai lebih detail, terdapat perbedaan antara kerja dan profesi. Hampir semua orang bekerja karena pekerjaan melekat pada kehidupan manusia dan kerja merupakan ikhtiar untuk memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, tidak semua manusia memiliki profesi, karena profesi didasari adanya pendidikan, kediklatan atau pengalaman yang cukup panjang dan bahkan tidak sedikit mewajibkan adanya sertifikasi atas keprofesionalan tersebut.

Tidak sedikit yang ngeyel dan ngotot mensinonimkan kerja dengan profesi. Untuk memberi pemahaman, sedikit uraian berikut untuk memudahkan memahaminya. Sebagai contoh, hadirnya seorang tukang potong rumput yang berpengalaman dan berkeahlian akan menghasilkan pekerjaan pemotongan rumput yang bagus dan cepat. Namun, bukan berarti bila tukang potong rumput tidak hadir pekerjaan pemotongan rumput tidak terlaksana. Hal itu akan dapat digantikan orang lain dan usaha penggantian itu tidak terlalu susah walaupun kemungkinan hasilnya tidak sama. Tentunya ini berbeda dengan keberadan seorang programmer, administrasi manager, teknisi rancang bangun, atau pekerjaan kimia nuklir yang eksesnya sangat berbahaya bila dikerjaan serampangan oleh semua orang. Begitu juga dengan tindakan medis yang dilakukan tanpa memperhatikan profesionalitas seseorang yang terjadi adalah pekerjaan konyol dan fatal.

Hampir semua orang sepakat bila melihat bangunan yang indah elok menawan dalam bayangan akan terlintas sosok-sosok tukang batu berwajah desa berpenampilan culun sederhana bersahaja. Siapa yang berani menjamin adanya bangunan indah menjulang tinggi menerobos angkasa raya itu tidak runtuh ambruk berkeping keping merengggut banyak nyawa bila tidak melibatkan arsitek, ahli teknik rancang bangun.

Tipe Manakah Kita?

Berangkat dari ketiga jenis kerja di atas, kita bisa meraba diri masing-masing dalam bekerja tergolong pada tipe yang mana? Bagi seorang pekerja yang baik apalagi ASN hendaknya melahirkan rasa syukur yang luar biasa karena walaupun sama-sama dipekerjakan oleh pemerintah, tapi tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana pekerja rodi. Pekerja yang baik saat ini adalah pekerja yang merasa takut barangkali pelayanan yang diberikan pada masyarakat kurang maksimal.

Pekerja pada instansi pemerintah pastinya paham bahwa gaji dan penghasilan tambahan  kesejahteraan yang diterima salah satunya berasal dari berbagai pajak yang dihimpun oleh pemerintah dari masyarakat baik dari level berada sampai jelata. Dalam kajian Maxian, kelas atau level masyarakat dikategorikan dengan borjuis atau proletar. Seorang pekerja akan berusaha memberikan pelayanan prima (paling baik) bagi masyarakat yang dilayaninya sebagai wujud imbal balik terhadap jerih payah masyarakat yang telah menjamin hidup pekerja dengan keluarganya serta menyediakan sarana prasarana kerja yang dinikmati pekerja.

Kesadaran sebagai pelayan harus benar-benar ditumbuhkan pada diri pekerja  terutama di masa kekinian karena keberadaan dan fungsinya jauh berbeda dibandingkan pekerja pemerintah tempo dulu. Orientasi pekerja jaman dulu tidak ubahnya hanya sebagai pengumpul pajak sebesar-besarnya bagi penjajah. Kalaupun memberikan pelayanan bukan karena kesadaran atas kewajiban yang harus ditunaikan pada masyarakat akan tetapi pelayanan yang diberikan pada masyarakat itu semata-mata mencarikan keuntungan bagi penjajah.

Pelayanan medis yang diberikan pada masyarakat pada waktu itu tujuannya hanya menjaga agar pemerintah penjajah tidak rugi karena para pekerja banyak yang sakit atau mati yang berdampak pada hasil produksi yang menjadi komoditi ekspor penopang ekonomi penjajah menurun. Kala itu, pabrik gula yang banyak tersebar di Pulau Jawa memperhatian kesehatan para pekerjanya karena para pekerja tersebut adalah aset terlatih di bidangnya dan sangat berpengalaman dalam pekerjaannya. Bila pekerja tersebut masih dalam usia produktif yang terganggu kesehatannya akan memberikan kerugian besar bagi pemerintah penjajah.

Pada bidang pendidikan, pelayanan itu bukan semata-mata untuk mencerdaskan anak bumiputera, tetapi hanya menyiapkan tenaga terdidik untuk membantu pekerjaan pemerintah penjajah sehingga yang boleh sekolah pada waktu itu sangat dibatasi. Pemerintah penjajah harus menyeleksi calon peserta didik melalui keluarganya (orang tua) tentang bagaimana hubungan dan kesetiaannya terhadap pemerintah penjajah. Tak heran bila anak bumiputera yang bisa sekolah adalah kalangan elite sosial, elite politik dan elite ekonomi yang biasanya cukup familiar dengan pemerintah penjajah.

Pengetahuan yang diberikan untuk mendukung kepentingan pemerintah penjajah adalah ilmu hitung, ilmu pertanian, ilmu perkebunan, ilmu peternakan dan ilmu bangunan. Pentingnya ilmu hitung diajarkan oleh pemerintah penjajah karena pemahaman hitungan menjadi dasar pekerjaan lainnya terutama pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah penjajah. Seorang mantri pengairan sekurang-kurangnya harus bisa menghitung debit air. Seorang mantri kehutanan bisa membagi jarak ideal luasan wilayah dengan jumlah pohon. Begitu juga para sinder harus tahu luasan lahan yang ditanam dengan tonase yang dihasilkan.

Bagi pekerja bangunan, pengetahuan yang harus dimiliki adalah berapa kubik pasir, bata, kapur dan kayu yang diperlukan untuk mendirikan sebuah bangunan dan mengestimasi berapa lama waktu dan berapa orang pekerja yang diperlukan. Terbukti dengan keahlian pegawai pada jaman penjajahan, banyak bangunan-bangunan yang masih berdiri kokoh dan dapat kita saksikan sampai hari ini, mulai tangsi militer, stasiun dan terowongan kereta, waduk, bendungan dan saluran irigasi pertanian, pembangkit dan gardu gardu listrik di perkotaan, dermaga dan pelabuhan, rumah dinas dan gedung pemerintahan sampai istana negara sebagai simbol pemerintahan.

Seorang abdi negara hendaknya tidak bekerja seperti kerja bakti, karena kesukarelaan. Kerja bakti sama halnya seperti hukum fardlu kifayah yang berdampak pada pasif berdiam di rumah. Seorang abdi negara harus menanamkan kesadaran bahwa dirinya seorang yang bekerja pada instansi pemerintah yang digaji setiap bulannya.

Lebih buruk lagi jika bekerja tanpa perasaan. bekerja tidak menyadari fungsi dan tugasnya terutama dalam memberikan pelayanan yang baik malah justru melakukan pungli dan sebangsanya yang dilebeli uang administrasi. Dalam bekerja seorang pegawai pemerintah sudah digaji negara lengkap dengan alat tulis dan kebutuhan termasuk listrik yang memberi daya pada komputer. Ringkasnya dalam kerja bakti yang sadar akan bekerja dengan keringat bercucuran, yang tidak sadar hanya berpangku tangan.

Dalam kerja bakti para pekerja dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sejatinya bekerja dan sepertinya bekerja. Kerja bakti ini dilakukan secara kelompok sehingga semua kelihatan ikut rebut. Bila diperhatikan, keributan ini memang benar benar ribut bekerja atau hanya ngeributi (meributi) orang bekerja sehingga kelihatan bekerja. Kehadirannya hanyalah bagian menghabiskan komsumsi saja, malahan orang macam ini bila tidak hadir dalam kerja bakti pekerjaan makin cepat jadi. Bagi kelompok ini kehadiran di kerja bakti tidak lebih hanya setor muka saja sehingga tetap sempurna sebagai bagian dari masyarakat serta mendapatkan hak sebagaimana masyarakat lainnya padahal sejatinya tidak ada manfaatnya.

Bagi pekerja di instansi pemerintah, hal seperti di atas tidak boleh terjadi karena diharapkan setiap person harus memiliki tupoksi masing-masing dan harus dikerjakan secara mandiri. Bila harus melibatkan person lain, sifatnya saling membantu dan berbagi trik atau metode untuk kesesuain dalam melaksanakan tugas kedinasan, bukan membebankan pekerjaan person kepada person lain yang memiliki derajat dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu, pemerintah sekarang ini lebih banyak membentuk jabatan-jabatan fungsional sehingga setiap person memiliki fungsi dan hasil pekerjaannya jelas. Bukan seabaliknya, kerja bebas atau bebas kerja dan dalam waktu yang tidak terbatas.

Tidak terjadi lagi terdengar pekerja tutup kendang (gendang) yaitu di kedua ujungnya ada tapi tengahnya bolong. Finger print kehadiran dan kepulangan selalu ada tapi tengahnya kosong dan tidak melakukan apa-apa. Tidak ada lagi pekerja seperti tutup terbang (rebana) yaitu finger print kedatangan ada tapi kepulangan tidak ada dan ditutup surat keterangan atau sebaliknya finger print kepulangan ada tapi kedatangan tidak ada dan ditutup surat keterangan. Yang paling ironi adalah pekerja terbang dobol (rebana robek) yaitu finger print datang dan pulang tidak ada dan selalu ditutup surat keterangan atau surat ijin.

Bila kita kerja bekerja sebagai profesi, pekerja melalui lolos seleksi melaksanakan tugasnya bukan bekerja sesuka hati. Sebagai pekerja profesi, pekerja yang ada di dalamnya adalah insan pilihan yang layak dibanggakan. Jika ditanya orang kerja dimana? pasti dengan bangga menjawabnya, karena sudah terbayang kwalitas kita. Sebaliknya, bila ditanya kerja dimana? dijawab kerja bakti atau lebih parah lagi dijawab kerja rodi, lawan bicara kita akan pegang kening sambil bilang capek deh!

Sebagai orang pilihan yang diberi kesejahteraan setiap bulan, pekerja profesi harus dapat menunjukkan profesionalitas kerjanya. Ukuran kerja professional adalah adanya jam kerja atau waktu penyelesaian pekerjaannya jelas, standar produk jelas, proses jelas, dan biaya jelas. Siapapun pegawainya dan di manapun berada, hasil pekerjaanya hampir sama dan ini laksana sistem yang berlaku secara umum dalam instansi pemerintah. Bila sampai pada tahapan ini, pekerja tidak hanya diukur lamanya bekerja dalam suatu institusi, tapi lebih pada bagaimana pekerja bisa menyesuaikan diri dalam derasnya alur sistem serta penguasaan terhadap piranti kerja kekinian yang mendukung operasional pekerjaan.

Seorang pekerja tidak lagi hanya nunut mukti (ikut senang) pada pekerja lain. Seorang pekerja yang tidak memiliki kemampuan apapun tetap dapat senang dan bahagia karena masih bisa nyendeh (bersandar) pada teman sekerjanya dan masih mendapatkan hak yang sama. Situasi kerja tidak melakukan apa-apa masih diuntungkan pada kerja orang lain adalah ciri kerja rubuh gedang atau melok bawang (pekerja tanpa bekerja). Cara kerja professional yang berlaku adalah nunut mati (ikut mati) yaitu bekerja tanpa keahlian dan kemampuan (norok buntek) akan mati dengan sendirinya, adapun mati yang dimaksud adalah mati pendapatannya atau penghasilannya.

Kerja professional tidak cukup hanya giat dan tahu pekerjaannya saja, tapi dituntut terus belajar dan berinovasi karena manusia bukanlah makhluk yang statis dalam berpikir. Apa yang dulu dianggap bagus dan canggih akan ditinggalkan dalam masa yang akan datang karena terus adanya inovasi.

Kerja Prestasi

Setelah memahami tipologi kerja seperti yang telah penulis uraikan. Tujuan kerja adalah berprestasi. Kerja prestasi adalah kerja yang membanggakan dan membahagiakan semuanya. Kebanggaan terwujud karena target terpenuhi, sasaran dan capaian kinerja terlampaui, semua alur proses yang benar secara regulasi, sehingga kepercayaan struktur di atasnya memberi nilai tertinggi. Hal itu belum cukup. Kesejatian pekerja institusi pemerintah tidak selesai sampai tingginya angka penghargaan yang didapatkan dari struktur di atasnya saja, tapi harus memberi kepuasan bagi masyarakat yang dilayani dan dari kepuasan itulah lahir kebahagiaan.

Salah besar bagi seorang pekerja pemerintah yang hanya mengutamakan kepuasan personal dan mengabaikan kepuasan komunal. Personal di sini adalah atasan sedangkan komunal adalah masyarakat yang harus dilayani. Pemberian layanan yang buruk bagi komunal akan memberikan dampak buruk bagi personal yang berada di atas pekerja karena kedudukannya sebagai pembinan kepegawaian.

Sebagai ilustrasi yang dapat digunakan untuk memudahkan terhadap pemahaman di atas adalah cara orang tua kita dahulu ketika membuat kue apem. Paling khas dalam pembuaan kue yang selalu dihubungkan dengan acara tahlilan adalah adanya dua bara api yang menganga pada bagian atas dan bawah. Seorang pekerja (pembuat apem) harus bisa menjaga kesesuaian dua api ini. Bila lengah mengontrol api bagian bawah maka nanti hasilnya apem gosong. Bukan saja tidak menarik warnanya karena hitam legam, lebih dari itu rasanya pahit dan tentunya tidak bisa dimakan. Begitu juga jika lena terhadap api bagian atas, apem akan bantat (tidak mengembang sempurna) sehingga tidak enak juga untuk dimakan.

Sudah saatnya merubah kebiasaan kerja dari terbang dobol kerja prestasi. Kerja prestasi didasari kesadaran yang kuat untuk memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. Adanya rasa takut tidak melayani masyarakat dengan baik. Kerja prestasi menuntut kita untuk terus berinovasi serta menuangkan segala kreasi yang tidak melanggar regulasi demi kepuasan masyarakat yang berusaha kita penuhi. Sadar akan posisi diri sebagai insan terpilih yang mendapat gaji dan kesejateraan dari ibu pertiwi dan wajib kita balas dengan kerja keras, ikhlas sepenuh hati. Belajar tiada henti untuk memenuhi tuntutan kerja dengan kualitas tinggi. (Penulis: Muchammad Toha, Editor: Nasrulloh)


Tags: # Opini